Terminal Cinta Terakhir
Sepanjang Rute Kelembutan
Dapatkah dibandingkan dengan segumpal
duri yang mengganjal di lekuk hati? Ketika pintu rumah itu terhempas
keras, maka berarti kenyerian di relung dada. Dan, Joki menelan ludahnya
yang kemudian terasa getir. Helaan napasnya terasa tersendat. Dia
mengawasi pintu tebal bercat coklat tua itu sesaat, lalu membalik badan,
dan berjalan pelahan menjauhi rumah itu.
Inilah ganjaran buat
keberanian. Inilah kenyataan yang dihadapkan oleh keterombang-ambingan
sekian lama: selembar pintu yang nyaris menyenggol hidung, dan suara
debumannya yang lebih keras dari suara seribu kanon.
Maka Joki
berjalan terseok di bawah kerindangan pohon di sepanjang kiri-kanan
jalan. Semakin jauh dia berjalan, semakin reda tusukan di dadanya. Cuma,
berangsur lenyapnya nyeri itu, tidaklah menghilangkan kemelut di
hatinya.
Terlalu berani aku agaknya. Aku tahu, dan aku menduga,
akan menghadapi kenyataan pahit itu. Tetapi, tidakkah itu lebih baik?
Bukankah lebih baik menelan empedu yang paling pahit, sekali reguk lalu
lupakan segalanya?
Ah, lupakan segalanya? Bisakah aku melupakan
seluruh kenyataan yang pernah kualami? Itu telah menjadi sejarah.
Bukankah? Betapa tak berartinya pun diriku, kenyataan dalam hidupku
adalah sejarah yang harus dikenang.
Pada usiaku yang kedua puluh empat, harus kucatat bahwa cinta telah
membuat aku menjadi manusia kreatif menurut versiku, menjadi manusia
paling berani menurut gayaku, dan menjadi manusia paling tak berharga
menurut hatiku.
Download Novelnya Disini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment